Thursday 9 August 2012

Tamago Sushi



Bahan Utama :
1 resep nasi sushi
2 lembar nori

Bahan yang harus diDadar:
4 butir telur, kocok lepas
5 sendok makan kaldu (dibuat dari ¼ sendok teh dashi bubuk ditambah 5 sendok makan air mendidih)
1 ½ sendok makan mirin
1 sendok teh gula pasir
1 sendok teh kecap Jepang
3 sendok makan minyak goreng

Cara Memasak Tamago Sushi:
1. Aduk bahan dadar, masak di pan anti lengket hingga matang.
2. Lipat 2 centi meter dari tepi dadar, gulung hingga ke ujung.
3. Buat dadar lagi, letakkan dadar gulung di atasnya, lalu gulung.
4. Lakukan serupa hingga telur habis, potong setebal ½ centi meter.
5. Ambil 1 sendok makan nasi sushi, kepal-kepal hingga berbentuk oval.
6. Letakkkan irisan dadar di atasnya. Lalu ikat dengan potongan nori.
Sajikan


http://meiscaa.blogspot.com/2010/07/resep-tamago-sushi.html

Salted Caramel Macaroon


Penjual macaroon di Jakarta berlomba menghadirkan rasa yang juga sedang tren di Barat ini.

Bahan:
Shell: 
  • 100 g gula bubuk
  • 100 g almond, sangrai
  • 2 putih telur ayam
  • 100 g gula pasir berbutir halus
  • 2 sdt kopi bubuk

Filling:
  • 100 g gula pasir
  • 50 g mentega asin
  • ½ sdt garam
  • 180 ml krim kental/ heavy cream
Cara Membuat:
  1. Filing: Panaskan gula dan 2 sdm air di atas api kecil sekali hingga meleleh dan berkaramel. Masukkan mentega dan garam, aduk cepat hingga menyatu. Tuangi krim, aduk rata. Angkat, sisihkan di suhu ruang.
  2. Shell: Masukkan gula, almond, dan kopi ke dalam food processor. Proses hingga halus sekali. Ayak. Sisihkan.
  3. Di mangkuk stainless, kocok putih telur dan gula  sambil ditim hingga gula larut dan adonan memucat. Jaga agar telur jangan sampai matang dan menggumpal. Angkat. Teruskan mengocok hingga kaku.
  4. Masukkan campuran almond secara bertahap sambil diaduk lipat menggunakan spatula karet. Masukkan adonan ke dalam kantong plastik segitiga. Gunting ujungnya (± 2 cm).
  5. Semprotkan adonan ke dalam bentuk bundar berdiameter 3-4 cm di atas loyang silpat (atau kertas roti). Beri jarak di antaranya. Ketuk-ketukkan loyang pada meja untuk mengeluarkan udara dan untuk membantu meratakan adonan. Diamkan di suhu ruang hingga permukaan adonan mengering (± 1 jam).
  6. Memanggang: Panggang dalam oven panas bersuhu 150ยบ C hingga kue mengembang ke atas dan terbentuk ‘kaki’ pada pinggirannya (± 25 menit). Keluarkan.
  7. Setelah shell tidak panas, spuit filling. Tangkup dengan shell lainnya. Simpan di lemari es hingga saat penyajian. (f)

Untuk 40 buah


Sushi Isi Avokad Salmon


Bahan:
  • 2 sdm cuka Jepang
  • 1 sdt gula pasir
  • 1 sdm mirin 1)
  • ½ sdt garam
  • 2 lembar nori ukuran 30 x 20 cm
  • 300 g nasi panas dari beras jepang (nasi bertekstur pulen)
  • 50 ml mayones, siap pakai
  • 2 buah (500 g) avokad, ambil daging buahnya, iris memanjang tipis
  • 150 g ikan salmon asap
  • 100 g acar wortel siap pakai, potong bentuk korek api ukuran 3 x ½ cm
  • 2 sdm tobiko (telur ikan terbang)
Pelengkap:
  • Acar jahe
  • Kecap asin
  • Wasabi
Cara Membuat:
  1. Campur cuka Jepang, gula pasir, mirin dan garam, aduk rata. Tuang ke dalam nasi hangat, aduk rata.
  2. Letakkan selembar plastik di atas tikar bambu (alat khusus menggulung sushi) di atas meja. Letakkan nasi di atas plastik. Letakkan selembar nori di atasnya. 
  3. Semprotkan mayones secara memanjang di atas salah satu sisi nasi. Susun setengah bagian daging buah avokad, salmon asap, dan acar wortel di atasnya. Gulung sambil tekan-tekan hingga padat. Buka gulungan.
  4. Lumuri permukaan atas sushi dengan mayones. Taburi tobiko hingga rata. Susun sisa daging buah avokad di atasnya. Potong-potong. 
  5. Sajikan bersama pelengkap. (f)
1) Mirin: Cuka beras yang mengandung 40% – 50% gula. Cita rasanya manis dan berwarna bening. Dikemas dalam botol kaca. Bisa dibeli di supermarket besar.

Untuk 15 potong


http://www.femina.co.id/kuliner/resep/bekal.anak/sushiisi.avokad.salmon/004/001/898/08

Yoghurt Avokad Tabur Buah

  
Stroberi, jeruk, dan yoghurt. Tiga karakter asam berpadu dengan avokad. Tambahkan sirop gula untuk mengurangi rasa asam.

Bahan:
  • 250 g yoghurt tawar
  • 2 buah (500 g) avokad, ambil daging buahnya
  • 2 sdm air jeruk lemon
  • 50 ml sirop gula
Pelengkap:
  • 1 buah avokad, kupas, iris melintang tipis
  • 6 buah stroberi, belah dua bagian
  • 1 kaleng (115g) jeruk mandarin, tiriskan
  • 100 g muesli 1)
Cara Membuat: 
  1. Campur yoghurt, avokad, air jeruk lemon, dan sirop gula di dalam blender. Proses hingga lembut.
  2. Tuang ke dalam setiap gelas saji, ratakan. Taburi dengan potongan avokad, stroberi, jeruk, dan muesli. Simpan di dalam lemari es hingga sesaat akan disantap.
  3. Sajikan dingin.(f)

1)Muesli: Sereal sarapan pagi siap santap yang terdiri dari gandum keping, buah kering, dan kacang-kacangan. Hilangkan, jika tidak ada.

Untuk 6 gelas @150 ml

http://www.femina.co.id/kuliner/resep/menu.diet/yoghurt.avokad.tabur.buah/004/001/905/07

Ayam Cincane



Ayam bakar khas Kota  Samarinda. Gunakan arang batok saat membakar untuk mendapatkan aroma yang  lebih sedap.

Bahan:
  • 3 sdm minyak untuk menumis
  • 3 cm jahe, memarkan
  • 3 cm lengkuas, memarkan
  • 2 lembar daun salam
  • 2 batang serai, memarkan
  • 1 ekor (1 kg) ayam kampung, potong 6 bagian
  • 2 sdm gula merah
  • 1 sdt garam
  • 500 ml santan dari 1 butir kelapa parut
  • 1 buah jeruk nipis, ambil airnya
Bumbu halus:
  • 12 buah cabai merah
  • 12 butir bawang merah
  • 6 siung bawang putih
  • 2 sdt terasi, goreng

Cara Membuat:

  1. Panaskan minyak, tumis bumbu halus, jahe, lengkuas, daun salam, dan serai, masak hingga harum dan matang.
  2. Masukkan ayam, masak hingga ayam berubah warna. Tambahkan gula merah dan garam, tuang santan dan air jeruk nipis. Masak hingga santan mengering. Angkat.
  3. Bakar ayam di atas bara api sambil diolesi sisa bumbu rebusan ayam hingga matang. Angkat. Sajikan. (f)

Untuk 6 porsi

Red Velvet cupcake



Bahan:
  • 150 g bit, kupas
  • 350 g gula pasir
  • 3 butir telur ayam
  • 100 ml air
  • 200 ml buttermilk *)
  • 450 ml minyak sayur
Bahan kering, ayak:  
  • 380 g tepung ganyong
  • 50 g cokelat bubuk
  • 1½ sdt garam
  • 1 sdt baking powder
Cheese frosting: 
  • 250 g cream cheese (keju krim) **)
  • 50 g gula bubuk
  • 50 ml thickened cream (krim kental)
Cara Membuat:
  1. Proses bit bersama air di dalam blender hingga halus. Angkat. Rebus hingga setengahnya. Saring, ambil sebanyak 200 ml. Sisihkan.
  2. Kocok gula dan telur menggunakan mixer berkecepatan tinggi hingga berbuih. Turunkan kecepatan mixer, masukkan air rebusan bit, bahan kering, buttermilk, dan minyak. Aduk perlahan hingga rata.
  3. Memanggang: Tuang ke dalam cetakan muffin kecil (untuk 40 muffin) atau besar (untuk 20 muffin) yang telah diolesi mentega. Panggang dalam oven panas bersuhu 180° C hingga matang (± 25 menit).
  4. Cheese Frosting: Kocok cream cheese dan gula menggunakan mixer berkecepatan tinggi hingga mengembang dan pucat. Masukkan krim kental, kocok rata.  
  5. Penyelesaian: Olesi cheese frosting di atas permukaan muffin. Sajikan. (f)

*) Buttermilk: Dairy product dengan rasa agak asam. Dijual dalam kemasan kotak karton di bagian rak pendingin di supermarket. Jika sulit menemukan di pasaran, Anda bisa membuatnya sendiri. Aduk 250 ml susu cair dengan 1 sdm air jeruk nipis. Diamkan 10 menit atau hingga menggumpal.

**) Cream cheese: Keju olahan dalam bentuk krim yang sedikit padat. Dijual di bagian rak berpendingin.

Untuk 20 buah

http://www.femina.co.id/kuliner/resep/hidangan.internasional/red.velvet.cupcake/004/001/563/03

Red Velvet Cake


Red Velvet Cake dalam porsi mini. Tampilannya lebih genit dibanding versi yang slice.

Bahan:Bahan I:

  • 200 ml susu cair
  • 2 sdm pewarna merah khusus makanan
  • 1½ sdm air lemon
  • 115 g mentega tawar        
  • 275 gula pasir
  • 2 kuning telur     
  • 2  putih telur    
Bahan II, ayak: 
  • 250 g tepung terigu    serbaguna
  • 40 g cokelat bubuk
  • 1 sdt baking soda    
  • ¼ sdt garam    
  • 1 sdt vanili ekstrak
Cream cheese frosting:
  • 135 g mentega tawar
  • 150 g gula bubuk
  • 225 g cream cheese *)        
  • ¼ sdt garam                    
  • ½ sdt vanili ekstrak
Cara Membuat:
  1. Bahan I: Campur susu, pewarna merah, dan air lemon. Sisihkan.
  2. Kocok mentega menggunakan mixer hingga pucat dan mengembang. Masukkan 200 g gula, teruskan mengocok hingga mengembang
  3. Tambahkan kuning telur, kocok terus hingga rata. Aduk lipat bahan II sedikit demi sedikit hingga rata. Sisihkan.
  4. Kocok putih telur menggunakan mixer hingga mengembang. Tambahkan sisa gula sedikit demi sediki sambil dikocok hingga kaku. Aduk lipat adonan tepung ke dalamnya hingga rata. Tuangi susu secara perlahan. Aduk rata.
  5. Tuang adonan ke 3 loyang berdiameter 10 cm yang sudah diolesi mentega dan ditaburi tepung terigu. Keluarkan. Setelah tidak lagi panas, belah membujur  menjadi  3 bagian untuk tiap cake-nya.
  6. Memanggang: Panggang dalam oven panas  suhu 180° C hingga matang (± 30 menit). Keluarkan. Ketika tidak lagi panas, belah membujur menjadi 3 bagian. Sisihkan.
  7. Frosting: Kocok mentega dan gula menggunakan mixer hingga ringan dan mengembang. Sisihkan. Kocok cream cheese, garam, dan vanili hingga rata.  Aduk lipat ke dalam adonan mentega hingga rata.  
  8. Olesi tiap permukaan cake dengan frosting. Tumpuk 3. Hiasi dengan cokelat berwarna pink. Simpan di lemari es hingga saat penyajian.

Wednesday 8 August 2012

rainbow cake


dari kemaren udah kepengen ngebuat ini cake tp gga tau resep ny :D
pas ketemu resep ny eh malah males buat ny :D
yudah nih aku mau share resep ny y :D
Seperti halnya kue kering, kue pelangi rainbow cake cukup digemari oleh banyak orang. karena itulah banyak sekali yang mencari resep rainbow cake asli. Namun apakah Anda tahu jika ternyata kue rainbow cake memiliki berbagai macam versi, antara lain adalah Rainbow Cake buatan Kaitlin Flannery, rainbow cake Lita dan yang tidak kalah terkenalnya adalahresep rainbow cake ala martha stewart.

Resep Rainbow Cake Dan Cara Membuat Kue Pelangi Asli


Nah.., pada kesempatan kali ini lebah ndut akan mengajak Anda mempelajari resep rainbow cake Martha Stewart yang tampilannya seperti Anda lihat di bawah ini:


Bahan Rainbow Cake


  • 375 gram tepung terigu
  • 5 butir telur, ambil putihnya saja
  • 4 sdt baking powder
  • 1/2 sdt garam
  • 250 gram mentega tanpa garam
  • 450 gram gula pasir
  • 2 sdt vanila bubuk
  • 350 ml susu cair
  • Mentega untuk mengoles loyang
  • Pewarna merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu secukupnya
  • Buttercream lemon untuk Rainbow Cake.

Cara Membuat Rainbow Cake


  1. Panaskan oven sampai 175 derajat celsius.
  2. Siapkan loyang ukuran diameter 23 cm, oles dengan mentega. Anda bisa memakai 6 loyang langsung atau satu persatu menggunakannya untuk memanggang 6 lapis warna yang berbeda.
  3. Ayak tepung terigu, baking powder dan garam, sisihkan.
  4. Mixer mentega dan gula, tambahkan putik telur dan kocok hingga tercampur rata dan mengembang.
  5. Tambahkan vanili bubuk, kemudian masukkan tepung hingga tercampur rata. Terakhir tambahkan susu.
  6. Bagi adonan menjadi enam bagian, beri masing-masing pewarna merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu secukupnya.
  7. Masukkan adonan ke dalam loyang, panggang selama 15 menit,
  8. Setelah matang, keluarkan kue dan dinginkan di atas rak kue selama 10 menit. Jika bagian atas kue menggembung, potong dengan pisau kue bergerigi agar permukaannya rata.
  9. Beri alas kue pada meja atau meja putar khusus kue yang akan Anda pakai untuk menumpuk Rainbow Cake.
  10. Mulai dari cake warna ungu, letakkan di bagian bawah, beri lapisan buttercream dengan bantuan spatula, lalu tumpuk dengan cake warna biru. Lakukan seterusnya dengan urutan ungu – biru – hijau – kuning – jingga – merah.
  11. Tutup semua bagian Rainbow Cake dengan buttercream yang tersisa. Tunggu hingga buttercream mengeras, kira-kira 30 menit.
  12. Rainbow cake asli yang cantik dan menggoda selera siap dihidangkan dan disantap bersama-sama.
Catatan:
Jika Anda merasa bagian luar Rainbow Cake Asli yang Anda buat kurang ceria, Anda bisa menambahkan sparkle warna-warni, permen cokelat warna-warni atau meises aneka warna sesuai dengan selera Anda.

Tuesday 31 July 2012

Lebih Baik Bagi Wanita Sholat Di Rumahnya


Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan pernah ditanya, mana yang lebih utama bagi wanita, dia shalat di rumahnya, atau shalat bersama muslimin di masjid?

Maka beliau menjawab:

Yang paling utama bagi wanita, melakukan shalat di rumahnya, dan dia boleh melakukan shalat di masjid bersama jamรข’ah, baik shalat wajib, shalat tarawih, shalat kusuf (gerhana) dan shalat jenazah, dengan syarat dirinya tertutupi dengan hijab yang sempurna dan tidak menghiasi badannya dan pakaiannya dan tidak menggunakan parfum pada badannya dan pakaiannya.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Janganlah kamu melarang hamba-hamba (wanita) Allah pergi ke masjid-masjid Allah, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka, dan hendaklah mereka keluar dengan memakai pakaian yang apek.”

(Maksud pakaian yang apek disini adalah tidak memakai perhiasan dan tidak memakai parfum.)

Hadits ini menunjukkan bahwa wanita boleh keluar ke masjid dengan syarat yang telah disebutkan, yaitu menghiasi dirinya dengan sifat malu dan berhijab, meninggalkan perhiasan dan parfum dan berdiri di belakang shaf laki-laki.

Meskipun dia mampu memenuhi syarat-syarat sholat berjamaah di masjid, namun shalat di rumahnya tetap lebih baik baginya, karena hal itu lebih menjaga dirinya sehingga tidak terfitnah pada dirinya, dan tidak menimbulkan fitnah untuk yang lainnya.

Adapun jika dia tidak mampu memenuhi syarat-syarat sholat berjamaah di masjid, maka keluarnya ia ke masjid adalah perbuatan haram, dia berdosa dan meskipun bertujuan shalat.

(Dinukil dari ูุชุงูˆู‰ ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ุงู„ู…ุณู„ู…ุฉ ูƒู„ ู…ุง ูŠู‡ู… ุงู„ู…ุฑุฃุฉ ุงู„ู…ุณู„ู…ุฉ ููŠ ุดุคูˆู† ุฏูŠู†ู‡ุง ูˆุฏู†ูŠุงู‡ุง (Wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan Fatwa tentang Wanita I), hal. 152, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1 Muharram 1427H/Februari 2006M, untuk http://akhwat.web.id)

Sumber Lain :  Wajib Bagi Wanita Minta Idzin Pada Suami/Wali Untuk Sholat Di Masjid, dan Wajib Bagi Suami/Wali Untuk Mengizinkannya

Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: “Wa buyuutuhunna khairullahunna” (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah.

Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi auratnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.

Syaikhul Islam (Ibnu Taymiyah) menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.

Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albaniy
(Sumber : Bulletin Al Wala wal Bara’ Edisi 38/01/2003. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. URL Sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=38&th=1)

Dalil-dalil Tentang Wajibnya Sholat Berjamaah 5 Waktu di Masjid (bagi pria)


Shalat lima waktu bersama jama’ah di masjid-masjid adalah sebesar-besar ibadah yang mulia. Dibawah ini disebutkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang wajibnya shalat jama’ah tersebut.

1. Perintah Allah Subhanahu Wata’ala untuk sholat berjamaah dalam Al Qur’an

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.  “  (al-Baqarah: 43)

Para ulama terdahulu seperti Imam Abu Bakar al-Kisani, Qadli al-Baidlawi, Hafidz Ibnul Jauzi, telah sepakat bahwa ayat mengenai perintah untuk ruku’ bersama-sama dengan orang-orang yang ruku’  menunjukkan adanya perintah (yang bermakna wajib) untuk menegakkan shalat berjama’ah.

2.  Hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bahwa tidak sah shalat bagi yang tidak berjama’ah secara sengaja

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam secara tegas mengancam orang yang mendengarkan adzan tapi tidak mendatanginya dengan sengaja tanpa udzur. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menyatakan bahwa tidak ada shalat baginya.  Kalimat ‘Laa shalata’ (tidak ada sholat) sering dipahami oleh ahlul fiqh dengan “tidak sah”. Walaupun dalam hadits ini ada perbedaan diantara ulama, apakah “tidak sah” atau “tidak sempurna”. Namun tentunya hadits ini cukup sebagai dalil yang qath’i tentang wajibnya shalat jama’ah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, tetapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur (halangan yang dibolehkan syariat).”

Keshahihan hadits ini antara lain :

  1. Diriwayatkan oleh  Ibnu Majah dalam Abwabul Masajid wal jamaah, bab, Taghlidh fi Takhalluf ‘Anil Jama’ah, No. 777; Ibnul Mundzir, Lihat alAushath fis sunani wal ijma’ wal Ikhtilaf, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq ‘Ala Taariki Syuhudul Isya’ was Subhi Jama’ah, no. 1898;Ibnu Hibban, lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibnu Hibban bab Fardhul Jama’ah bab Dzikrul Khabar ad-Daall Anna Hadzal Amru Hatmun La Nadbun, no. 2064 dan Hakim dalam Mustadrak, Kitabus Shalah 1/245)

  2. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’. Beliau berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Thabrani dalam Mu’jamul Kabir. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas Oleh Abu Musa al-Madini dalam al-Lathaifu Min ‘Ulumil Ma’arif, Hasan bin Sufyan dalam al-Arba’in, Daruquthni, Hakim dan Baihaqi dari banyak jalan, dari Hasyim dari ‘Adi. Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat dua Syaikh (Bukhari dan Muslim)”. Pendapat ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Dan hadits ini memang seperti apa yang dikatakan oleh keduanya”. (Irwa’ul Ghalil, 2/337).

  3. Diriwayatkan pula ucapan-ucapan sejumlah para shahabat yang menyatakan demikian. Imam Tirmidzi berkata: “Sungguh telah diriwayatkan bukan hanya dari seorang shahabat Nabi saja bahwa mereka berkata: “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya”. (Jami’ Tirmidzi dengan Tuhfatul Ahwadzi, 1/188).  Sebagai contoh kita sebutkan beberapa ucapan mereka. Diantaranya apa yang diucapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib:  ”Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid”. Ditanyakan kepada beliau: “Wahai Amirul Mukminin, siapa tetangga masjid?” Beliau menjawab: “Tetangga masjid adalah orang yang mendengarkan adzan”. (HR. Abdurrazzak dalam al-Mushannaf, kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida, no. 1915, 1/497-498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/ 345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1907, 4/137; lihat al-Muhalla, 4/274-275)

  4. Ibnu Mas’ud ra berkata:  “Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1902, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275)

  5. Ibnu Abdullah bin Abbas ra juga berkata:   “Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza Sami’al Munadi falyajib 1/345; Ibnul mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq no. 1899, 4/136; lihat al-Muhalla, 4/275; Abdurrazzak dalam Mushanaf, kitabus shalah, bab Man sami’a Nida’ no. 1914, 1/497; al-Baghawi dalam Syarkhus Sunnah, no. 795 juz 3 /348, dikatakan oleh pentahqiq kitab tersebut: “Sanad hadits ini shahih)

  6. Abu Musa al-’Asyari ra berkata:  “Barangsiapa yang mendengarkan adzan, kemudian tidak mendatanginya tanpa udzur, maka tidak ada shalat baginya”. (Riwayat Ibnul Mundzir dalam al-Ausath kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufu an-Nifaq, no. 1900, 4/136; lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 4/274). 

3.  Orang buta saja diwajibkan shalat berjama’ah.

Diantara yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah 5 waktu adalah tidak adanya rukhshah (keringanan) bagi orang yang buta.  Maka bagaimana dengan orang-orang yang masih dapat melihat dengan normal?

Dikisahkan bahwa Abdullah bin Umi Maktum ra pernah meminta keringanan untuk tidak shalat berjama’ah di masjid dan mengemukakan berbagai macam udzurnya, diantaranya : 

  1. Buta matanya dan tidak adanya penuntunnya

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa seorang yang buta datang menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam seraya berkata:

“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak memiliki penuntun yang bisa menuntunku ke masjid”. Orang itu meminta keringanan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam. Maka Rasulullah pun mengizinkannya. Namun kemudian ketika orang itu berpaling, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Shahih Muslim dalam kitabul Masaajid).

Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tidak memberikan udzur bagi orang yang buta tersebut, jika ia masih mendengar panggilan adzan. 

2. Jauh rumahnya

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum ra bahwa dia meminta keringanan kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dengan berkata:

“Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku. Apakah aku shalat di rumahku? Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya:”Apakah engkau mendengar adzan?” Ia menjawab: “Ya”. Maka beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Kalau begitu aku tidak mendapatkan rukhshah (keringanan) untukmu”. (HR. Abu Dawud dalam Kitabus Shalah, bab at-Tasydid fii tarki ash-shalah, no. 548)

Dalam hadits ke-2 ini terdapat alasan yang ketiga di samping alasan buta dan tidak memiliki penuntun yaitu jarak rumahnya ke masjid jauh. 

3. Diantara rumahnya dengan masjid melewati kebun-kebun kurma dan semak belukar.

Dalam riwayat lain bahkan disebutkan diantara rumah Abdullah ibnu Umi Maktum dan masjid terdapat pepohonan kurma dan semak belukar. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam : “Wahai Rasulullah, antara rumahku dengan masjid banyak pohon kurma dan semak belukar. Dan tidak ada orang yang dapat menuntunku. Apakah boleh bagiku untuk shalat di rumahku?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah engkau mendengar iqamah?” Ia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Kalau begitu datangilah panggilan tersebut!”. (HR. Ahmad) 

4. Masih banyaknya binatang buas dan berbisa di sekitar kota Madinah 

Dalam hadits lain masih ada udzur lainnya pada Abdullah bin Umi Maktum, namun tetap tidak menjadikannya mendapatkan keringanan yaitu diantara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia mengatakan:  “Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak binatang-binatang buas dan binatang yang berbahaya. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud bab Tasydid fi Tarqil Jama’ah, no. 548; Hakim dalam Mustadrak kitab ash-shalah, dishahihkan oleh Dzahabi).

5. Dalam keadaan tua dan sudah renta

Udzur lainnya bagi Abdullah bin Umi Maktum adalah umur beliau. Di samping beliau buta, ia adalah seorang yang sudah tua renta. Sebagaimana diriwayatkan oleh Thabrani dari Abu Umamah. Ia berkata: Ibnu Umi Maktum datang -ia adalah seorang buta yang turun tentangnya ayat ‘Abasa wa tawalla an ja’ahul a’ma-, ia adalah seorang dari Quraisy datang kepada Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan berkata:

“Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai jaminan untukmu. Sungguh aku –sebagaimana yang engkau lihat—adalah orang yang telah tua umurnya, rapuh tulangku (renta), hilang pandanganku (buta), dan aku memiliki penuntun yang tidak cocok denganku, apakah engkau memiliki rukhsah untukku agar aku shalat di rumah?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah engkau mendengar suara muadzin di rumah yang kamu tinggal di dalamnya?” Ia menjawab: “Ya”. Maka nabi pun bersabda: “Aku tidak memiliki keringanan untukmu. Sungguh kalau orang yang tidak hadir shalat jama’ah ke masjid itu mengetahui apa pahalanya orang yang berjalan menuju shalat jama’ah, niscaya ia akan mendatanginya walaupun merangkak dengan kedua tangan dan kakinya”. (Dinukil dari at-Targhib wa Tarhib oleh al-Hafidh al-Mundziri. Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/247)

Dari hadits-hadits di atas, kita melihat ketegasan hukum wajibnya shalat berjama’ah. Kita melihat udzur-udzur yang ada pada Abdullah bin Umi Maktum sangat banyak, seperti buta, tua umurnya (renta), tidak ada penuntun, jauhnya rumah dari masjid, banyaknya pepohonan dan semak belukar, dan banyaknya binatang buas/berbisa. Namun meskipun demikian, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tetap tidak memberikan keringanan untuknya meninggalkan shalat jama’ah.

Tidak mungkin bagi seorang rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam yang mulia dan sangat sayang kepada umatnya membiarkan seorang yang memiliki udzur-udzur di atas tanpa mendapatkan keringanan. Kecuali kalau perkara itu adalah suatu faridlah dan kewajiban yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapkan.

Maka dengan alasan apa lagikah kaum muslimin meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan tidak buta, kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?

4. Perintah untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf (genting/ berbahaya)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan para shahabatnya untuk shalat berjama’ah walaupun dalam keadaan khauf (genting), yaitu dalam situasi perang. Hal ini menunjukkan kalau shalat jama’ah merupakan perkara yang penting dan wajib.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat untuk mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”  (an-Nisaa’: 102)

Ibnul Mundzir menjelaskan mengenai ayat ini : “Ketika Allah perintahkan untuk shalat berjama’ah dalam keadaan khauf (genting) ,  apalagi dalam keadaan aman tentunya lebih diwajibkan”. (Al-Ausath fie Sunani wal Ijtima’i wal Ikhtilafi, 4/135).  Dengan kata lain, kalau saja shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu dalam keadaan perang dapat dijadikan udzur (alasan berhalangan) yang sangat  masuk akal untuk  meninggalkan shalat jama’ah. Namun ternyata dalam keadaan perang saja diwajibkan untuk sholat berjamaah.

5. Perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk mendirikan shalat berjama’ah

Diriwayatkan dari Malik Ibnul Huwairits ra , dia berkata: ”Aku mendatangi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersama beberapa orang dari kaumku. Kami tinggal di sisi beliau 20 hari. Sungguh beliau adalah seorang yang sangat lembut dan penyayang. Ketika beliau melihat bahwa kami sudah rindu dengan keluarga-keluarga kami, beliau berkata:   “Kembalilah kalian, tinggallah di tengah mereka, ajarilah mereka dan shalatlah. Jika telah datang waktu shalat, adzanlah salah seorang dari kalian dan hendaklah orang yang paling tua diantara kalian mengimami kalian! (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan).

Dalam riwayat lain, bahkan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam memerintahkan untuk shalat berjama’ah walaupun jumlah mereka hanya 3 orang.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Berkata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam : “Jika mereka bertiga, maka hendaklah mengimami mereka salah seorang dari mereka. Dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling pandai membaca al-Qur’an. (HR. Muslim dalam kitab al-Masajid wa mawadhi’us shalah).  Ibnul Qayyim menjelaskan makna hadits ini bahwa sisi pendalilan hadits ini adalah perintah untuk berjama’ah, dan perintah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menunjukkan wajib hukumnya.

Yang lebih menunjukkan wajibnya shalat jama’ah adalah ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menyuruh orang yang safar untuk shalat berjama’ah sekalipun hanya berdua .  “Jika kalian berdua bepergian, maka adzanlah salah seorang kalian kemudian dirikanlah shalat. Hendaklah mengimami kalian orang yang lebih tua diantara kalian!” (HR. Bukhari dalam kitab al-Adzan)

7.  Larangan keluar dari masjid setelah adzan

Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah diharamkannya seseorang keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, kecuali setelah menunaikan shalat jama’ah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata:  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam telah memerintahkan kepada kami  “Jika kalian berada di masjid, kemudian diseru untuk shalat (adzan), maka janganlah salah seorang kalian keluar hingga selesai shalat. (HR. Ahmad; berkata al-Hafidz al-Haitsami: “Rawi-rawi imam Ahmad adalah rawi-rawi yang dipakai dalam kitab Shahih (yakni shahih Bukhari dan Muslim -pent.) (Majma’ az-Zawaid, 2/5)

7.  Meninggalkan shalat jama’ah adalah ciri-ciri kemunafikan.

Disebutkan dalam banyak riwayat bahwa meninggalkan shalat jama’ah merupakan salah satu dari ciri-ciri kemunafikan. Ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah perkara yang wajib. Karena meninggalkan sesuatu yang tidak wajib adalah tidak berdosa, maka tidak mungkin disebutkan sebagai tanda kemunafikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi seorang munafiq melainkan shalat fajar dan shalat Isya’. Kalau saja mereka mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak”. (HR. Bukhari, Kitabul Adzan bab Fadllul Isya fil Jama’ah, no. 657, 2/141). Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits ini dalam Shahihnya dengan memberi judul bab Dzikrul Bayan bi anna Hataini shalataini atsqalu shalah ‘alal Munafiqiin (Keterangan bahwa 2 shalat ini adalah yang paling berat bagi munafikin); lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibni Hibban, kitabus shalah, 5/ 454. 

Hadits semakna yang juga mensifati seorang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan kemunafikan adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Ubay bin Ka’ab. Ia berkata: “Pada suatu hari ketika kami shalat shubuh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bertanya: “Apakah fulan hadir?”. Mereka menjawab: “Tidak”. (Kemudian beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam menanyakan orang lain):”Apakah si fulan hadir?” Mereka juga menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasululla Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Sesungguhnya dua shalat ini adalah shalat yang paling berat atas orang munafiq. Kalau saja kalian tahu apa yang ada pada keduanya, niscaya kalian akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”  (HR. Abu Dawud dalam Sunan, kitabus shalat, bab Fadllu shalatil jama’ah, no. 550, 2/259; al-Hafidz al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Hakim. Telah ditegaskan oleh Yahya Ibnu Ma’in dan adz-Dzuhali bahwa hadits ini shahih; lihat Targhib wa tarhib, 1/264; dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahih Targhib wa tarhib, 1/238; Shahih Sunan Ibnu Dawud, 1/111 dan Shahih Sunan an-Nasa’i, 1/183)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Kalau saja seseorang dipanggil untuk makan sop tulang atau punggung kambing, niscaya mereka akan mendatanginya. Sedangkan jika mereka dipanggil untuk shalat berjama’ah, mereka tidak mendatanginya.  Sungguh aku sangat ingin menyuruh seseorang mengimami shalat jama’ah bersama manusia, kemudian aku pergi kepada mereka yang mendengarkan adzan tapi tidak mendatanginya, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. Sungguh tidaklah meninggalkan shalat jama’ah, kecuali munafiq”. (Berkata al-Haitsami: “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jamul Aushath. Para perawi-perawi semuanya tsiqah”. Lihat Majma’uz Zawaid kitabus shalah bab tasydid fi tarkil jama’ah, 2/43)

Demikian pula dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata:“Barangsiapa yang suka untuk bertemu Allah kelak dalam keadaan selamat, maka hendaklah ia menjaga shalat-shalat tersebut ketika dipanggil kepadanya, karena sesungguhnya Allah mensyariatkan untuk nabi kalian ajaran petunjuk. Dan sungguh shalat-shalat itu termasuk ajaran-ajaran petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam.  Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian seperti apa yang dilakukan oleh si mutakhallif ini di rumahnya, maka berarti kalian telah meninggalkan ajaran nabi kalian. Jika kalian meninggalkan ajaran nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat. ….. Sungguh kami melihat pada diri-diri kami waktu itu, tidak ada yang meninggalkan shalat jama’ah kecuali seorang munafiq yang sudah dikenal kemunafikannya. (HR. Muslim, kitabul Masaajid, bab Shalatul jama’ah min sunanil Huda, no. 654, 1/453)

Ibnu Umar ra berkata:  “Kami, jika kehilangan seseorang dalam shalat Isya’ dan shalat fajar, maka kami berburuk sangka kepadanya.”  (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan al-Bazzar; lihat Kasyful Astar. Berkata al-Haitsami: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan perawi-perawinya terpercaya”. (Majma’uz Zawaid 2/40))

8. Ancaman kemurkaan Allah bagi orang yang meninggalkan shalat jama’ah dengan sengaja tanpa udzur

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra  bahwasanya keduanya mendengar Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:  “Hendaklah kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat jama’ah atau Allah akan tutup hati-hati mereka. Kemudian jadilah mereka orang-orang yang lalai”. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-Nya Abwabul Masaajid bab Taghlidh fit Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 778, 1/142-143; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah, 1/132)

Sudah dimaklumi bersama bahwa ancaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam terhadap suatu perbuatan menunjukkan haramnya perbuatan tersebut. Maka Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang haramnya meninggalkan shalat jama’ah.

Lebih tegas lagi apa yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin Aisyah rah. bahwa orang yang meninggalkan shalat jama’ah terancam kejelekan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazzak dalam Mushanafnya dari Aisyah rah. ia berkata:   “Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian tidak mendatanginya, maka dia tidak menghendaki kebaikan dan tidak dikehendaki kebaikan padanya.“  (HR. Abdurrazzak dalam Mushannaf kitabus shalah, bab Man Sami’a Nida’ no. 1917, 1/498; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1903, 4/ 137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)

Demikian juga apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah ra. : “Kalau telinga anak Adam dipenuhi timah panas yang meleleh, itu lebih baik daripada ia mendengarkan adzan namun tidak mendatanginya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf kitabus shalawat, bab Man Qaala Idza sami’al Munadi fal yajib, 1/345; Ibnul Mundzir dalam al-Aushath, kitabul Imamah, bab Dzikru Takhawwufun Nifaq, no. 1905, 4/137; Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 4/274)

9. Keinginan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah

Diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah adalah apa yang diriwayatkan dalam hadits-hadits yang shahih tentang keinginan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak mau menghadiri shalat jama’ah.

Diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda: 

“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu bakar kemudian dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan dikumandangkanlah adzan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka. Sedangkan aku pergi kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat jama’ah) kemudian aku bakar rumah-rumah mereka. Sungguh demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya kalau saja salah seorang dari mereka tahu bahwa mereka akan mendapatkan sekerat daging paha dan punggung kambing yang bagus tentu mereka akan menghadiri shalat Isya’. (HR. Bukhari dalam kitabul Adzan, bab Wujubus shalatil jama’ah, no. 644, 2/125)

Ancaman ini sangat jelas menunjukkan kewajiban melaksanakan shalat jama’ah. Bahkan Imam Bukhari pun memberikan judul babnya dengan kalimat “Bab wajibnya shalat jama’ah”. Sedangkan kita semua tahu bahwa fiqihnya Imam Bukhari terlihat pada judul-judul bab dalam kitab Shahihnya.

Adapun Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya memberikan judul “Hadits-hadits tentang penggunaan ancaman-ancaman keras Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam untuk memperingatkan orang yang tidak menghadiri shalat Isya’ dan Shubuh berjama’ah”. (lihat al-Ihsan fi Taqrib Shahih ibni Hibban, 5/451)

Ancaman-ancaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam ini bukan berlaku atas orang yang meninggalkan shalat sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ancaman ini ditujukan kepada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun dia shalat di rumahnya.

Dalam salah satu riwayat disebutkan secara jelas bahwa mereka yang diancam akan dibakar rumah-rumahnya adalah mereka yang melakukan shalat di rumah-rumah mereka.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda:

“Sungguh aku sangat berkeinginan memerintahkan para pemudaku untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku datangi suatu kaum yang shalat di rumah-rumah mereka tanpa ada udzur dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabus shalah bab at-Tasydid fit Tarkil Jama’at, no. 545 2/253-254. Syaikh al-Albani berkata tentang hadits ini: “Shahih tanpa kalimat ู„َูŠْุณَุชْ ุจِู‡ِู…ْ ุนِู„َّุฉٌ” (Shahih Sunan Abi Dawud 1/110)

Dalam hadits di atas dijelaskan secara tegas bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam sangat berkeinginan membakar rumah orang-orang yang mengerjakan shalat wajib di rumahnya dan tidak berjama’ah di masjid. Meskipun keinginan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam tersebut tidak diwujudkan, tapi hal itu cukup sebagai peringatan dan ancaman atas mereka. Dan tidaklah menghalangi beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dari niatnya, kecuali adanya wanita dan anak-anak.

Diantara para ulama yang mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang wajibnya shalat berjama’ah adalah:

Ibnu Hajar al-Asqalani -ketika mengomentari hadits di atas—berkata: “Adapun hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa shalat berjama’ah adalah fardlu ‘ain (kewajiban atas setiap individu), karena kalau ia hanya merupakan anjuran saja, tidak mungkin beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam mengancam dengan ancaman membakar rumah-rumah mereka. Demikian pula kalau kewajibannya adalah hanya fardlu kifayah, maka dengan telah ditegakkannya shalat jama’ah oleh Rasulullah dan sebagian shahabatnya, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.” (Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 2/125-126)

10. Akibat jelek yang disebabkan karena tidak menyambut panggilan shalat

Termasuk dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah adalah ucapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menerangkan akibat jelek yang akan menimpa orang-orang yang dipanggil untuk sujud, tetapi mereka menolaknya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dalam keadaan sehat.”  (al Qalam: 42-43)

Yang dimaksud ‘Yud’auna ilas sujud’ di ayat ini adalah panggilan untuk sujud dengan suara adzan. Yakni ketika mereka dipanggil untuk melakukan shalat berjama’ah. 

Makna ayat ini adalah orang yang tidak mau memenuhi panggilan adzan di dunia terancam kehinaan dan akan dipermalukan pada hari kiamat yakni ketika seluruh manusia sujud, mereka tidak dapat sujud.

Ibnu Abbas ra -Shahabat yang ahli dalam bidang tafsir—ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Mereka dulu (di dunia) mendengarkan adzan dan panggilan untuk shalat, namun tidak mengindahkannya”. (Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, 29/36)

Beberapa ulama terdahulu seperti Al-Hafidh Ibnul Jauzi, Ka’bul Akhbar,   Ibrahim an-Nukhai ,  Ibrahim at-Taimiy dan Fachrurrozi menyimpulkan hal yang mirip bahwa ketika mereka diseru untuk shalat dengan adzan dan iqamah, padahal mereka dalam keadaan sehat dan mampu untuk melakukannya (di dunia). Maka disini terdapat ancaman bagi orang yang duduk dan meninggalkan shalat jama’ah dan tidak memenuhi panggilan muadzin untuk shalat secara berjama’ah”.

 


(Dikutip dari Bulletin Al Manhaj, Edisi 96/Th. III 16 Safar 1427 H/17 Maret 2006 M dan Edisi 97/Th. III 23 Safar 1427 H/24 Maret 2006 M, tulisan Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli Meninggalkan Sholat merupakan Ciri Kemunafikan dan Ancaman Allah dan RasulNya bagi yang Meninggalkan Sholat Berjamaah)
Sumber : Mengalami perubahan urutan penomoran dan dengan sedikit penyederhanaan bahasa. Untuk melihat sumber aslinya silahkan klik di http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1045    dan   http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1046

10 ‘Alasan’ Untuk Tidak Memakai Jilbab


Bila anda seorang muslimah dewasa dan masih belum menutup auratnya dengan hijab dan jilbab yang benar, maka ada baiknya merenungkan kembali alasan anda dengan menyimak dialog pemikiran dibawah ini.

ALASAN I : Saya belum benar-benar yakin akan fungsi/kegunaan jilbab

Kami kemudian menanyakan dua pertanyaan kepada saudari ini; Pertama, apakah ia benar-benar percaya dan mengakui kebenaran agama Islam? Dengan alami ia berkata, Ya, sambil kemudian mengucap Laa Ilaa ha Illallah! Yang menunjukkan ia taat pada aqidahnya dan Muhammadan rasullullah! Yang menyatakan ia taat pada syariahnya. Dengan begitu ia yakin akan Islam beserta seluruh hukumnya. Kedua, kami menanyakan; Bukankah memakai jilbab termasuk hukum dalam Islam? Apabila saudari ini jujur dan dan tulus dalam ke-Islamannya, ia akan berkata; Ya, itu adalah sebagian dari hukum Islam yang tertera di Al-Quran suci dan merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang suci. Jadi kesimpulannya disini, apabila saudari ini percaya akan Islam dan meyakininya, mengapa ia tidak melaksanakan hukum dan perintahnya?

ALASAN II : Saya yakin akan pentingnya jilbab namun Ibu saya melarangnya, dan apabila saya melanggar ibu, saya akan masuk neraka.

Yang telah menjawab hal ini adalah ciptaan Allah Azza wa Jalla termulia, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam nasihatnya yang sangat bijaksana; “Tiada kepatuhan kepada suatu ciptaan diatas kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR Ahmad).   Sesungguhnya, status orangtua dalam Islam, menempati posisi yang sangat tinggi dan terhormat.  Dalam sebuah ayat disebutkan; “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang Ibu Bapak . . “ (QS. An-Nisa:36). Kepatuhan terhadap orangtua tidak terbatas kecuali dalam satu aspek, yaitu apabila berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman; “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…(QS. Luqman : 15)

Berbuat tidak patuh terhadap orangtua dalam menjalani perintah AllahSubhanahu wa Ta’alatidak menyebabkan kita dapat berbuat seenaknya terhadap mereka. Kita tetap harus hormat dan menyayangi mereka sepenuhnya. Allah berfirman di ayat yang sama; “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Kesimpulannya, bagaimana mungkin kamu mematuhi ibumu namun melanggar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan kamu dan ibumu.

ALASAN III : Posisi dan lingkungan saya tidak membolehkan saya memakai jilbab.

Saudari ini mungkin satu diantara dua tipe: dia tulus dan jujur, atau sebaliknya, ia seorang yang membohongi dirinya sendiri dengan mengatasnamakan lingkungan pekerjaannya untuk tidak memakai jilbab. Kita akan memulai dengan menjawab tipe dia adalah wanita yang tulus dan jujur. “Apakah anda tidak tidak menyadari saudariku tersayang, bahwa wanita muslim tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah tanpa menutupi auratnya dengan hijab dan adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengetahuinya? Apabila engkau, saudariku, menghabiskan banyak waktu dan tenagamu untuk melakukan dan mempelajari berbagai macam hal di dunia ini, bagaimana mungkin engkau dapat sedemikian cerobohnya untuk tidak mempelajari hal-hal yang akan menyelamatkanmu dari kemarahan Allah dan kematianmu?” Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman; “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl : 43). Belajarlah untuk mengetahui hikmah menutup auratmu. Apabila kau harus keluar rumahmu, tutupilah auratmu dengan jilbab, carilah kesenangan Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada kesenangan syetan. Karena kejahatan dapat berawal dari pemandangan yang memabukkan dari seorang wanita.

Saudariku tersayang, apabila kau benar-benar jujur dan tulus dalam menjalani sesuatu dan berusaha, kau akan menemukan ribuan tangan kebaikan siap membantumu, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat segala permasalahan mudah untukmu. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’alatelah berfirman; “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..”(QS. AtTalaq :2-3). Kedudukan dan kehormatan adalah sesuatu yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak bergantung pada kemewahan pakaian yang kita kenakan, warna yang mencolok, dan mengikuti trend yang sedang berlaku. Kehormatan dan kedudukan lebih kepada bersikap patuh pada Allah  Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan bergantung pada hukum Allah yang murni. Dengarkanlah kalimat Allah; “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu..”(QS. Al-Hujurat:13).Kesimpulannya, lakukanlah sesuatu dengan mencari kesenangan dan keridhoan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan berikan harga yang sedikit pada benda-benda mahal yang dapat menjerumuskanmu.

ALASAN IV : Udara di daerah saya amatlah panas dan saya tidak dapat menahannya. Bagaimana mungkin saya dapat mengatasinya apalagi jika saya memakai jilbab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan perumpamaan dengan mengatakan; “api neraka jahannam itu lebih lebih sangat panas(nya) jikalau mereka mengetahui..”(QS At-Taubah : 81). Bagaimana mungkin kamu dapat membandingkan panas di daerahmu dengan panas di neraka jahannam? Sesungguhnya saudariku, syetan telah mencoba membuat tali besar untuk menarikmu dari panasnya bumi ini kedalam panasnya suasana neraka. Bebaskan dirimu dari jeratannya dan cobalah untuk melihat panasnya matahari sebagai anugerah, bukan kesengsaraan. Apalagi mengingat bahwa intensitas hukuman dari Allah  akan jauh lebih berat dari apa yang kau rasakan sekarang di dunia fana ini. Kembalilah pada hukum Allah  dan berlindunglah dari hukuman-Nya, sebagaimana tercantum dalam ayat;“mereka tidak merasakan kesejukan didalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah” (QS. AN-NABA 78:24-25). Kesimpulannya, surga yang Allah janjikan, penuh dengan cobaan dan ujian. Sementara jalan menuju neraka penuh dengan kesenangan, nafsu dan kenikmatan.

ALASAN V : Saya takut, bila saya memakai jilbab sekarang, di lain hari saya akan melepasnya kembali, karena saya melihat banyak sekali orang yang begitu.

Kepada saudari itu saya berkata, “apabila semua orang mengaplikasikan logika anda tersebut, mereka akan meninggalkan seluruh kewajibannya pada akhirnya nanti! Mereka akan meninggalkan shalat lima waktu karena mereka takut tidak dapat melaksanakan satu saja waktu shalat itu. Mereka akan meninggalkan puasa di bulan ramadhan, karena mereka takut tidak dapat menunaikan satu hari ramadhan saja di bulan puasa, dan seterusnya. Tidakkah kamu melihat bagaimana syetan telah menjebakmu lagi dan memblokade petunju bagimu? Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai ketaatan yang berkesinambungan walaupun hanya suatu ketaatan yang sangat kecil atau dianjurkan. Lalu bagaimana dengan sesuatu yang benar-benar diwajibkan sebagaimana kewajiban memakai jilbab? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda; “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan mulia yang terus menerus, yang mungkin orang lain anggap kecil.” Mengapa kamu saudariku, tidak melihat alasan mereka yang dibuat-buat untuk menanggalkan kembali jilbab mereka dan menjauhi mereka? Mengapa tidak kau buka tabir kebenaran dan berpegang teguh padanya? Allah Subhanahu wa Ta’ala sesungguhnya telah berfirman; “maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang di masa kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. AL BAQARAH 2:66). Kesimpulannya, apabila kau memang teguh petunjuk dan merasakan manisnya keimanan, kau tidak akan meninggalkan sekali pun perintah Allah setelah kau melaksanakannya.

ALASAN VI : Apabila saya memakai jilbab, maka jodohku akan sulit, jadi aku akan memakainya nanti setelah menikah.

Saudariku, suami mana pun yang lebih menyukaimu tidak memakai jilbab dan membiarkan auratmu di depan umum, berarti dia tidak mengindahkan hukum dan perintah Allah dan bukanlah suami yang berharga sejak semula. Dia adalah suami yang tidak memiliki perasaan untuk melindungi dan menjaga perintah Allah , dan jangan pernah berharap tipe suami seperti ini akan menolongmu menjauhi api neraka, apalagi memasuki surga Allah . Sebuah rumah yang dipenuhi dengan ketidak-taatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan selalu menghadapi kepedihan dan kemalangan di dunia kini dan bahkan di akhirat nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala bersabda; “dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. TAHA 20:124). Pernikahan adalah sebuah pertolongan dan keberkahan dari Allah  kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Berapa banyak wanita yang ternyata menikah sementara mereka yang tidak memakai jilbab tidak?

Apabila kau, saudariku tersayang, mengatakan bahwa ketidak-tertutupanmu kini adalah suatu jalan menuju sesuatu yang murni, asli, yaitu pernikahan. Tidak ada ketertutupan. Saudariku, suatu tujuan yang murni, tidak akan tercapai melalui jalan yang tidak murni dan kotor dalam Islam. Apabila tujuannya bersih dan murni, serta terhormat, maka jalan menuju kesana pastilah harus dicapai dengan bersih dan murni pula. Dalam syariat Islam kita menyebutnya : Alat atau jalan untuk mencapai sesuatu, tergantung dari peraturan yang ada untuk mencapai tujuan tersebut. Kesimpulannya, tidak ada keberkahan dari suatu perkawinan yang didasari oleh dosa dan kebodohan.

ALASAN VII : Saya tidak memakai jilbab berdasarkan perkataan Allah Subhanahu wata’ala : “dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS.Ad-Dhuhaa 93: 11). Bagaimana mungkin saya menutupi anugerah Allah berupa kulit mulus dan rambutku yang indah?

Jadi saudari kita ini mengacu pada Kitab Allah selama itu mendukung kepentingannya dan pemahamannya sendiri ! ia meninggalkan tafsir sesungguhnya dibelakang ayat itu apabila hal itu tidak menyenangkannya. Apabila yang saya katakan ini salah, mengapa saudari kita ini tidak mengikuti ayat : “janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang nampak daripadanya” (QS An-Nur 24: 31] dan sabda Allah SWT:“katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya..” (QS Al-Ahzab 33:59). Dengan pernyataan darimu itu, saudariku, engkau telah membuat syariah sendiri bagi dirimu, yang sesungguhnya telah dilarang oleh Allah, yang disebut at-tabarruj dan as-sufoor. Berkah terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kita adalah iman dan hidayah, yang diantaranya adalah menggunakan hijab. Mengapa kamu tidak mempelajari dan menelaah anugerah terbesar bagimu ini? Kesimpulannya, apakah ada anugerah dan pertolongan terhadap wanita yang lebih besar daripada petunjuk dan hijab?

ALASAN VIII : Saya tahu bahwa jilbab adalah kewajiban, tapi saya akan memakainya bila saya sudah merasa terpanggil dan diberi petunjuk oleh-Nya.

Saya bertanya kepada saudariku ini, rencana atau langkah apa yang ia lakukan selama menunggu hidayah, petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti yang dia katakan? Kita mengetahui bahwa Allah SWT dalam kalimat-kalimat bijak-Nya menciptakan sebab atau cara untuk segala sesuatu. Itulah mengapa orang yang sakit menelan sebutir obat untuk menjadi sehat, dan sebagainya. Apakah saudariku ini telah dengan seluruh keseriusan dan usahanya mencari petunjuk sesungguhnya dengan segala ketulusannya, berdoa, sebagaimana dalam surah Al-Fatihah 1:6 “Tunjukilah kami jalan yang lurus”serta berkumpul mencari pengetahuan kepada muslimah-muslimah lain yang lebih taat dan yang menurutnya telah diberi petunjuk dengan menggunakan jilbab? Kesimpulannya, apabila saudariku ini benar-benar serius dalam mencari atau pun menunggu petunjuk dari Allah , dia pastilah akan melakukan jalan-jalan menuju pencariannya itu.

ALASAN IX : Belum waktunya bagi saya. Saya masih terlalu muda untuk memakainya. Saya pasti akan memakainya nanti seiring dengan penambahan umur dan setelah saya pergi haji.

Malaikat kematian, saudariku, mengunjungi dan menunggu di pintumu kapan saja Allah berkehendak. Sayangnya, saudariku, kematian tidak mendiskriminasi antara tua dan muda dan ia mungkin saja datang disaat kau masih dalam keadaan penuh dosa dan ketidaksiapan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersabda; “tiap umat mepunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya”(QS Al-An’aam 7:34] saudariku tersayang, kau harus berlomba-lomba dalam kepatuhan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumu..”(QS Al-Hadid 57:21).

Saudariku, jangan melupakan Allah atau Ia akan melupakanmu di dunia ini dan selanjutnya. Kau melupakan jiwamu sendiri dengan tidak memenuhi hak jiwamu untuk mematuhi-Nya. Allah mengatakan tentang orang-orang yang munafik, “dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri”(QS Al-Hashr 59: 19) saudariku, memakai jilbab di usiamu yang muda, akan memudahkanmu. Karena Allah akan menanyakanmu akan waktu yang kau habiskan semasa mudamu, dan setiap waktu dalam hidupmu di hari pembalasan nanti.Kesimpulannya, berhentilah menetapkan kegiatanmu dimasa datang, karena tidak seorang pun yang dapat menjamin kehidupannya hingga esok hari.

ALASAN X : Saya takut, bila saya memakai jilbab, saya akan di-cap dan digolongkan dalam kelompok tertentu! Saya benci pengelompokan!

Saudariku, hanya ada dua kelompok dalam Islam. Dan keduanya disebutkan dalam Kitabullah. Kelompok pertama adalah kelompok / tentara Allah (Hizbullah) yang diberikan pada mereka kemenangan, karena kepatuhan mereka. Dan kelompok kedua adalah kelompok syetan yang terkutuk (hizbush-shaitan) yang selalu melanggar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila kau, saudariku, memegang teguh perintah Allah, dan ternyata disekelilingmu adalah saudara-saudaramu yang memakai jilbab, kau tetap akan dimasukkan dalam kelompok Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun apabila kau memperindah nafsu dan egomu, kau akan mengendarai kendaraan Syetan, seburuk-buruknya teman.

Saudariku,

Jangan biarkan tubuhmu dipertontonkan di pasar para syetan dan merayu hati para pria. Model rambut, pakaian ketat yang mempertontonkan setiap detail tubuhmu, pakaian-pakaian pendek yang menunjukkan keindahan kakimu, dan semua yang dapat membangkitkan amarah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyenangkan syetan. Setiap waktumu yang kau habiskan dalam kondisi ini, akan terus semakin menjauhkanmu dari Allah  dan semakin membawamu lebih dekat pada syetan. Setiap waktu kutukan dan kemarahan menuju kepadamu dari surga hingga kau bertaubat. Setiap hari membawamu semakin dekat kepada kematian. “tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain dari kesenangan yang memperdayakan” (QS Ali ‘Imran 3:185). Naikilah kereta untuk mengejar ketinggalan, saudariku, sebelum kereta itu melewati stasiunmu. Renungkan secara mendalam, saudariku, apa yang terjadi hari ini sebelum esok datang. Pikirkan tentang hal ini, saudariku, sekarang, sebelum semuanya terlambat !

Sumber oleh : Dr. Huwayda Ismaeel

Sejarah Singkat Pembukuan Al-Qur’an


Para sahabat selalu antusias menerima Alquran dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam., menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata, “Seseorang di antara kami bila telah membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami.” Begitu pula mereka selalu berusha mengamalkan Alquran dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, “Mereka yang membacakan Alquran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Alquran, karena beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan Alquran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.
Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki (seperti yang akan kami jelaskan nanti) untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut “Mushaf Imam”. Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani, yaitu dinisbatkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil quran.
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku, serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Alquran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i’rabil quran.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Alquran dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai dengan kemampuannya yang berbeda-beda dalam memahami, dan karena adanya perbedaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Di antara para mufassir(ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka’ab. Dan, apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Alquran yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in (generasi kedua setelah generasi para sahabat), di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat, di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Sementara, di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Di antara murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, maula Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abusy-Sya’sa, Said bin Jubair, dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas’ud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya. Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi, semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan (tadwin) yang yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka, sebagian ulama membukukan tafsir Quran yang diriwayatkan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalaam dari para sahabat atau dari para tabi’in. Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112). Mereka semua adalah para ahli hadis; tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun, tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian, langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Alquran yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H).
Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan.